Makam Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien merupakan salah satu pahlawan wanita Indonesia asal Aceh yang ditakuti oleh Belanda karena memiliki daya juang yang tinggi dan mampu mengobarkan semangat perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajah. Beliau terkenal dalam perlawananya melawan penjajah. Cut Nyak Dien berperan langsung Bersama para pejuang untuk melawan penjajah. Meski seorang wanita, Cut Nyak Dien tidak pernah gentar dan terus memimpin perlawanan terhadap Belanda.

Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh 1848 dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar. Beliau mulai ikut berperang melawan Belanda pada tahun 1880. Kemarahan Cut Nyak Dien terhadap penjajah diawali dengan kematian suaminya Teuku Cek Ibrahim Lamnga saat bertempur pada 29 Juni 1878. Kematian Suaminya membuat Cut Nyak Dien marah besar dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Pada tahun 1880 Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar dan mempersilahkan ikut bertemput di medan perang. Bergabungnya Cut Nyak Dien dalam perang melawan Belanda berhasil meningkatkan semangat perjuangan rakyat Aceh. Pada 30 September 1893, Teuku Umar membuat siasat dengan menyerahkan diri kepada Belanda bersama pasukan. Cara itu dilakukan untuk mempelajari taktik perang Belanda. Namun itu membuat rakyat Aceh marah dan menganggap Teuku Umar sebagai penghianat karena telah bekerjasama. Dikutip situ resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), setelah beberapa tahun bergabung dengan Belanda, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien balik menyerang Belanda. Setelah fasilitas lengkap dan mencukupi Teuku Umar mengumpulkan rakyatnya membagikan senjata dan menyerang belanda kembali. Perang yang dilakukan Teuku Umar secara gerilnya. Sayangnya perang yang terjadi pada 11 Februari 1899 membuat Teuku Umar tewas tertembak. Meski Suaminya meninggal Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh. Dengan kondisi Cut Nyak Dien yang semakin rentan, ditambah sumber makanan yang tidak pasti dan berkurangnya jumlah pasukan membuat anak buah Cut Nyak Dien iba dan melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda. Akibatnya Belanja menyerang dan mereka bertempur mati-matian.

Semasa pemerintahan Pangera Aria Soeria Atmaja pada akhir Juli 1907, Kabupaten Sumedang dijadikan tempat pengasingan tokoh srikandi pejuang Aceh yang ditangkap kolonial Belanda. Cut Nyak Dhien dalam usia 70 tahun didampingi kerabatnya yaitu Panglima (50 tahun) dan Teuku Nana (13 tahun) dengan keadaan buta akibat penderitaan bertahun-tahun tinggal di hutan-hutan Aceh. Awalnya Cut Nyak Dhien diasingkan di Batavia namun Bupati Pangeran Aria Soeria Atmaja ingin membawanya ke Sumedang mengingat tempat ini lebih aman dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Selama di Sumedang, Cut Nyak Dhien ditempatkan oleh bupati di rumah Haji Sanusi yang tak jauh dari Mesjid Agung Sumedang. Bupati Pangeran Aria Soeria Atmaja sangat memperhatikan keadaan tokoh srikandi Aceh ini. Semua kebutuhannya dicukupi dengan baik.

Selama pengasingan, beliau tetap berada dibawah pengawasan ketat militer Belanda. Walaupun diawasi dan dilarang Belanda, beliau tidak tinggal diam. Cut Nyak Dhien semakin dekat dengan masyarakat Sumedang dan selalu memberikan pelajaran agama Islam dan pengajian masyarakat. Hingga wafatnya pada 6 November 1908, Cut Nyak Dhien selalu dikenang masyarakat Sumedang. Srikandi Aceh ini dimakamkan di pemakaman Gunung Puyuh, Kabupaten Sumedang. Menurut penjaga Makam Cut Nyak Dien, masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan.



Jelajahi Sekarang